Lin Feilu meninggal pada malam ulang tahunnya yang ke-27.
Tahun-tahun sebelumnya, ia selalu mengadakan pesta ulang tahun di rumah pantainya, berpesta dengan teman-temannya dari malam hingga pagi.
Bahkan hadiah dari orang tuanya sudah dikirimkan ke sana terlebih dahulu.
Namun, tahun ini berbeda. Ia terkena gastroenteritis (flu perut).
Pagi-pagi sekali, ia pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan obat, kemudian kembali ke apartemen bertingkat di pusat kota. Ia menghabiskan sepanjang hari tidur di kamarnya.
Malam itu, ia terbangun oleh suara ribut dari ruang tamu.
Setelah orang tuanya bercerai, masing-masing tinggal di rumah terpisah.
Namun, apartemen di pusat kota itu adalah milik bersama, dan sudah lama tidak dihuni.
Saat Lin Feilu keluar dari kamar sambil memegangi perutnya, ia melihat ibunya, yang berdandan dengan gaya modis, berguling di sofa bersama seorang pria muda.
Lin Feilu tertegun selama dua detik sebelum kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Setelah itu, ia membanting pintu dan pergi.
Ketika sampai di garasi, telepon dari ibunya masuk.
“Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu harusnya pergi ke pesta?”
Lin Feilu membuka pintu Lamborghini-nya. Bukannya menjawab, ia malah balik bertanya,
“Kalian sudah bercerai?”
“Belum,” jawab Ibu Lin.
Senyum tipis dengan jejak jijik muncul di wajahnya,
“Aku nggak tahu apa yang kalian pikirkan.”
Sebelum ibunya bisa menjawab, ia menambahkan,
“Silakan lanjutkan. Tenang saja, aku nggak akan bilang ke ayah.”
Sama seperti ketika ia tidak memberitahu ibunya saat melihat ayahnya membawa seorang wanita ke villa.
Sejak kecil, kedua orang tuanya seperti memainkan permainan mereka sendiri. Ia sudah melihat banyak hal yang seharusnya tidak dilihat selama bertahun-tahun itu. Selain rasa muak, ia tidak memiliki perasaan lain untuk mereka.
Ketika ia hendak menutup telepon, suara di seberang sana seolah tiba-tiba mengingat sesuatu,
“Selamat ulang tahun, sayang.”
Lin Feilu menyalakan mesin mobilnya, “Terima kasih.”
Mobilnya melaju di sepanjang jalan pesisir, dan sekali lagi teleponnya berdering.
Itu temannya yang beracun.
Ia berteriak, “Akhirnya di angkat! Kami di DC. Kamu mau ikut nggak?”
Setelah itu, suaranya merendah dan terdengar agak bersemangat.
“Xie He juga di sini, dia bilang dia akan minta maaf atas nama pacarnya soal kejadian kemarin! Eh, maksudku mantan pacarnya. Suruh dia sesukamu, biar tahu rasa!”
Perutna kembali sakit. Ia memegang perut dengan satu tangan, sementara tangan lainnya tetap kokoh di setir.
“Aku nggak datang. Kalian aja dulu.”
Temannya terkejut, “Bagaimana dengan Xie He?”
Lin Feilu tersenyum, “Aku nggak peduli.”
Temannya terdiam sesaat, “Dia putus sama pacarnya karena kamu.”
Lin Feilu menjawab santai, “Aku nggak pernah suruh dia putus, dan aku juga nggak ngapa-ngapain.”
Telepon di ujung sana hening.
Tiba-tiba, rasa sakit tajam menghantam perutnya lagi.
Lin Feilu menundukkan kepala sambil meringis kesakitan, dan saat ia meraih untuk menutup telepon, suara rem yang keras terdengar di depannya. Sebuah truk besar meluncur cepat ke arahnya.
Lin Feilu dengan cepat memutar setir. Mobilnya menghantam pembatas jalan, terpental, dan jatuh dari tebing menuju laut.
Saat Lin Feilu melayang di udara, hatinya tenang. Hanya ada satu pikiran yang melintas di benaknya.
Ternyata benar, kalau kamu terlalu sering melakukan hal buruk, karma akan datang. Di kehidupan berikutnya, aku akan jadi orang baik.
Tl: www.novels.my.id
Komentar